Pendaftaran PPPK 2019 dibuka.
DAERAH yang kaya akan sumber daya alam (SDA), saat ini merasa tenang-tenang saja dengan muncul kebijakan perekrutan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Tidak ribet untuk merekrut PPPK yang diperlukan. Sebab, sudah pasti bisa menggaji mereka.
Lha kalau yang miskin SDA, bagaimana mau menggaji mereka? Karena itu, daerah yang minim SDA, betul-betul menghitung dengan cermat, teliti, jauh ke depan, apakah mampu secara berkelanjutan untuk menggaji PPPK.
Sungguh celaka, kalau hanya perlu setahun dua tahun, setelah itu terpaksa tak bisa melanjutkan perjanjian karena anggaran yang benar-benar terbatas. Bangun gedung kantor, bertahun-tahun tidak selesai. Lha tidak ada uangnya. Tapi kalau ke luar negeri, ratusan miliar rupiah pun para pejabat ramai-ramai menyetujui.
Dulu, ketika perekrutan masih belum banyak perubahan. Birokrasi atau sistemnya belum berkembang, tak ada penerimaan CPNS, apalagi yang namanya kontrak, tahu-tahu muncul ‘pegawai siluman’, sindiran kepada kepala daerah dan tim sukses yang memasukkan anak, kerabat, bekerja di pemerintahan.
Masa sekarang, khususnya keinginan pemerintah di daerah untuk menambah jumlah pegawai, sangatlah besar. Penyebabnya beragam. Karena meninggal, pensiun, pindah, dipecat kena kasus hukum atau memang perlu tenaga khusus mengikuti perkembangan teknologi.
Tapi apa daya. Aturan merekrut makin ketat. Daerah mulai merasa kesusahan untuk menambah pegawai. Lalu, merekrut tenaga kontrak atau honorer atau yang setara dengannya. Persoalannya, bagaimana pemerintah daerah menggaji tenaga kontrak dan lainnya ini? Tentu saja, tanggungan pemerintah daerah.
Gaji mereka, diambil dari anggaran daerah sendiri. Bukan bersumber dari keuangan pemerintah pusat seperti halnya seorang PNS. Sampai di titik ini, pemerintah daerah betul-betul berhitung dengan sangat teliti. Jumlah tenaga kontrak atau yang setara dengannya, harus sesuai dengan kemampuan anggaran. Kalau anggaran terbatas, bisa jadi hanya segelintir yang direkrut.
Atau, malah tidak dapat merekrut sama sekali karena memang apalah daya tidak ada uangnya. Ini bagai dilema, di satu sisi daerah sangat membutuhkan tambahan pegawai, disisi lain terkendala minim anggaran.
Efisiensi dan keefektifan. Ini yang menjadi sikap pemerintah daerah. Kalau pegawai kurang, sistem perekrutan sulit, apa yang harus dilakukan daerah? Sepertinya tak ada pilihan, selain kembali pada perhitungan efisiensi dan keefektifannya.
Contoh kecil, si pimpinan tidak lagi rutin pasang tampang angkuh di belakang meja. Tidak terjebak lagi, hanya rutin terima tamu doang, rutin pelesiran ke luar negeri, rutinitas tanda tangan bukti perjalanan dinasnya.
Sekarang, karena pegawai kurang, si pimpinan harus ke lapangan. Sampah menumpuk, ke lapangan dan ikut proses pengangkutan. Pertanyaan besarnya, apakah si pimpinan mau ke lapangan seperti itu? Seorang warga sederhana di pojokan kampung, ditanya seperti itu, menjawab polos: ke kampung kami saja tidak pernah.