Puluhan guru honorer yang telah mengabdi bertahun-tahun meminta keadilan agar mimpi mereka menjadi PNS terwujud. Namun, harapan Mahmudin dkk itu kandas di palu 9 hakim konstitusi.
"Amar putusan mengadili, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan putusan 9/PUU-XVIII/2020, di Gedung MK Jalan Medan Merdeka Barat, Jakpus, Selasa (19/5/2020) siang.
MK mengungkapkan Mahmudin meminta agar statusnya sebagai tenaga honorer atau sebutan lain sejenis atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) ditingkatkan menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Salah satu pertimbangan mendasar dibentuknya UU ASN adalah perlunya dibangun aparatur sipil negara yang memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik serta bersih dari praktik korupsi, kolusi, nepotisme.
Selain itu, dalam mempertimbangkan permohonan tersebut, MK berpijak pada pertimbangan hukum putusan sebelumnya, yaitu Putusan MK Nomor 9/PUU-XIII/2015 dan Putusan MK Nomor 6/PUU-XVII/2019, yang secara garis besar telah memberikan pertimbangan secara saksama berkenaan dengan pegawai honorer tersebut.
"Seharusnya pegawai honorer tidak perlu khawatir bahwa hak konstitusionalnya akan terlanggar dengan diberlakukannya UU ASN, karena faktanya UU ASN yang terkait dengan hak pegawai honorer tetap ada dan mengakomodir hak para tenaga honorer yang saat ini masih ada," kata hakim konstitusi Wahiduddin Adams.
MK menyatakan sesungguhnya masalah yang dialami Mahmudin dkk bukan lah terletak pada keberadaan Pasal 6, Pasal 58 ayat (1) dan Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2) UU ASN. Melainkan pada Permenpan 36/2018 dan PP 49/2018.
Selain itu, dalam uraian argumentasi yang dibangun oleh para Pemohon dalam legal standing juga terlihat bahwa isu utama yang dipermasalahkan oleh para Pemohon adalah terkait dengan berlakunya Permenpan 36/2018 dan PP 49/2018 yang secara langsung mengakibatkan para Pemohon tidak dapat secara otomatis dapat diangkat menjadi PNS dan juga menjadi PPPK.
"Dengan demikian apabila mengikuti alur berpikir para Pemohon, maka keberatan para Pemohon ditujukan bukan terhadap norma Pasal 6, Pasal 58 ayat (1) dan Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2) UU ASN, melainkan kepada peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang secara konstitusional bukan merupakan kewenangan Mahkamah untuk menilainya. Apalagi pendelegasian demikian dibenarkan secara hukum dalam sistem perundang-undangan," ucap Wahiduddin.
Gugatan itu diajukan oleh 19 guru honorer dari berbagai daerah. Seperti diceritakan guru honorer Mahmudin. Ia mengabdi menjadi guru honorer di SMA N Minas, Siak, Riau, sejak 1 Januari 2006 hingga saat ini. Total pengabdian sudah lebih dari 14 tahun.
Pada 2018, ia hendak mengikuti tes CPNS. Tapi ia kaget, sebab ada syarat yang mengganjalnya, yaitu usia maksimal 35 tahun, pengalaman kerja minimal 10 tahun, dan terus-menerus menjadi tenaga pendidik. Padahal banyak guru honorer yang usianya sudah di atas 35 tahun.
"Saya sudah mengabdi selama 23 tahun," kata guru honorer dari Depok, Jawa Barat, M Nur Rambe. Nur mulai mengajar sejak 2 Januari 1996 hingga hari ini.
Nasib pilu lainnya dialami oleh guru honorer di Kabupaten Wonogoro, Jateng, Deby Suratno. Ia sehari-hari menjadi guru honorer dengan upah Rp 400 ribu. Karena minim penghasilan, sore harinya menjadi sopir truk pasir.
Adapun guru honorer di Indramayu, Jawa Barat, Sukma Umbara juga mengalami derita serupa. Ia sudah mengabdi bertahun-tahun dengan honor Rp 500 ribu. Ia kaget tidak bisa mengikuti seleksi CPNS karena terganjal syarat di UU ASN.
Sukma pernah melakukan aksi jalan kaki Indramayu-Istana untuk menyampaikan aspirasi ke Presiden RI. Namun usahanya sia-sia.
"Aksi tunggal sukses membuat haru biru di media Tanah Air. Namun cuma sekadar viral. Sebab, sampai permohonan ini diajukan, kebijakan yang ada bukan lah solusi untuk memerdekakan honorer 100 persen," ujar Sukma.