Saat DPR dan Pemerintah Beda Pendapat di Dalam Revisi UU ASN

Ilustrasi Aparatur Sipil Negara (ASN) CHRISTOFORUS RISTIANTO/KOMPASIlustrasi Aparatur Sipil Negara (ASN) Pemerintah menegaskan bahwa keberadaan Komisi Paratur Sipil Negara ( KASN) masih diperlukan untuk memastikan penerapan sistem merit dapat berjalan dengan baik. 

Komisi II DPR sebelumnya mengusulkan agar KASN dihapus di dalam revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (RUU ASN). Adapun tugas dan fungsi KASN diusulkan dapat dimasukan ke dalam Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB). 

"Penghapusan lembaga KASN, fungsi tugas dan wewenang KASN pada RUU perubahan atas UU ASN dihapus untuk selanjutnya dilekatkan kembali kepada kementerian," kata Wakil Ketua Komisi II Syamsurizal, Senin (18/1/2021).

Penghapusan KASN menjadi satu dari lima poin usulan perubahan dalam revisi UU ASN. Revisi beleid tersebut merupakan usulan inisiatif DPR dan telah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021.

Menteri PAN RB Tjahjo Kumolo menegaskan bahwa peran KASN masih sangat diperlukan.

"Peran KASN masih sangat diperlakukan untuk mengawasi penerapan sistem merit secara independen. Tinggal nanti usul daripada DPR pengintergrasian kepada pemerintah akan bisa kita lihat secara bersama," kata Tjahjo.

Selain penghapusan KASN, empat poin usulan di dalam revisi UU ASN yaitu penetapan kebutuhan pegawai negeri sipil, kesejahteraan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja ( PPPK), pengurangan ASN, dan pengangkatan tenaga honorer. 

Pengangkatan tenaga honorer

Dalam rapat tersebut, Syamsurizal mengusulkan, pemerintah mengangkat tenaga honorer sebagai pegawai negeri sipil ( PNS) secara langsung berdasarkan surat putusan yang dikeluarkan tanggal 15 Januari 2014.

Syamsurizal mengatakan, pengangkatan tenaga honorer dapat dilakukan melalui seleksi administrasi berupa verifikasi dan validasi data surat keputusan pengangkatan.

"Memprioritaskan mereka yang memiliki masa kerja paling lama serta bekerja pada bidang fungional administrasi dan pelayanan publik, mempertimbangkan masa kerja, gaji, ijazah, pendidikan terakhir dan tunjangan yang diperoleh sebelumnya," kata Syamsurizal dalam rapat tersebut.

Menanggapi hal tersebut, Tjahjo menjelaskan, pengangkatan tenaga honorer harus melalui penerima PNS dan PPPK.

Penerimaan tersebut harus dilakukan secara objektif yang berdasarkan kompetensi, kualifikasi, kebutuhan instansi dan persyaratan lain yang dibutuhkan dalam jabatan.

"Sejak ditetapkan PP 48/2005, PPK dilarang mengangkat tenaga honorer yang sejenis, pengangkatan yang dimaksud secara langsung bertentangan dengan prinsip dari sistem merit, dan visi pemerintah untuk lima tahun dalam upaya meningkatkan daya saing," kata Tjahjo.

"Yang mana pengangkatan secara langsung menghilangkan kesempatan putra putri terbaik jadi bagian pemerintah, karena tertutup peluang akibat diangkat nya tenaga honorer tanpa seleksi," sambungnya.

Revisi jangan drastis

Adapun Komisi II juga mengusulkan, pemerintah memberikan hak atas jaminan pensiun kepada pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) lantaran beban kerjanya sama dengan PNS.

Pemerintah, kata Syamsurizal, harus berkonsultasi dengan DPR sebelum melakukan perampingan organisasi.

Tjahjo mengatakan, pemerintah memandang revisi UU ASN belum perlu dilakukan secara drastis seperti yang diusulkan DPR.

"Di mana UU 5/2014 justru sangat diperlukan untuk mendukung upaya pemerintah reformasi birokrasi khususnya mendorong peningkatan kualitas birokrasi," ujar Tjahjo.

Lebih lanjut, Tjahjo mengatakan, pihaknya telah menyiapkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) terkait revisi UU ASN.

"Kami siap untuk menyerahkan DIM, minggu depan seperti yang dijadwalkan," pungkasnya.