Di antaranya yang tercantum dalam PP Nonor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK Pasal 16. Dalam pasal tersebut, guru honorer usia 35 tahun ke atas masih harus bersaing dengan pelamar umum yang berusia 20 tahun.
Kemudian Pasal 19 tentang seleksi dengan uji kompetensi untuk menentukan ambang batas dan kelulusan. Pasal 37 tentang masa perjanjian kerja dan Pasal 53 tentang pemutusan hubungan kerja. Belum lagi kalau biaya penggajian dan tunjangan PPPK yang bekerja di instansi daerah dibebankan pada APBD.
"GTKHNK 35 ini sudah belasan tahun bahkan ada yang puluhan tahun mengabdikan diri kepada negara. Mengapa kami masih dipersulit, apalagi diarahkan ke PPPK yang hampir mirip dengan outshorching," kata Sigid , Senin (1/2).
Saat audiensi pengurus GTKHNK35 dengan Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) RI Jenderal TNI (Purn) Moeldoko baru-baru ini, Sigid mengaku telah menyampaikan kelemahan-kelemahan regulasi PPPK tersebut.
"Semua kelemahan regulasi PPPK sudah kami sampaikan kepada Pak Moeldoko. Jadi beliau sudah tahu," ucapnya.
Dia menambahkan, Komisi II dan Komisi X DPR RI sudah memberikan dukungan terhadap upaya GTKHNK35 untuk meraih Keppres PNS.
Sebanyak 70% kepala daerah di Indonesia juga sudah mendukung dan ini masih terus bertambah karena APKASI sudah memberikan dukungan terhadap GTKHNK 35 .
Tinggal pemerintah saja khususnya Mendikbud Nadiem Makarimt harus welcome dengan aspirasi GTKHNK 35 serta turut mengupayakan Keppres PNS untuk GTKHNK 35 ."Presiden menerbitkan Keppres itu sudah merupakan amanat konstitusi jadi tidak melanggar aturan," tegasnya.
Sigid menambahkan, GTKHNK35 terus berupaya menyampaikan permohonan secara langsung kepada Presiden Joko Widodo. Presiden telah menerbitkan Keppres Nomor 25 Tahun 2018 tentang pengangkatan PNS bagi bidan PTT dan Keppres Nomor 17 Tahun 2019 tentang pengangkatan PNS bagi dosen.
"Semoga Bapak Presiden juga berkenan menerbitkan Keppres PNS bagi guru dan tendik honorer nonkategori usia 35 tahun ke atas ke atas dari sekolah sekolah negeri semua jenjang," pungkasnya. (esy/jpnn)