Menurut Ketua Umum Forum Pendidik, Tenaga Honorer Dan Swasta Indonesia (FPTHSI) Hamdi Zaenal rata-rata guru honorer K2 tidak memiliki sertifikat guru pendidik. Pasalnya, mereka terkendala dengan surat keterangan (SK) dari Bupati, Walikota, dan Gubernur.
"Jadi di dalam PP nomor 48 diterangkan nggak boleh ada honorer lagi. Setelah itu keluar, syarat memiliki sertifikat pendidik adalah memiliki SK dari Bupati, Walikota, dan Gubernur. Akhirnya (sertifikat pendidik) susah keluar karena katanya daerah terbentur aturan pusat, padahal K2 sudah ada dari sebelum PP 48 keluar," ungkap dia , Selasa (25/5/2021).
Sedangkan, guru swasta dengan mudah memiliki sertifikat pendidik. Akhirnya, kata Hamdi, mereka bisa mendapatkan afirmasi passing grade sebesar 100 poin dan mengakibatkan ketidakadilan antara guru K2 dari sekolah negeri yang telah mengabdi bertahun-tahun.
"Kalau punya sertifikat pendidik dapat afirmasi passing grade 100 poin. Guru swasta mengabdi 2 tahun sudah bisa mengajukan sertifikat, guru negeri nggak bisa padahal sudah lama mengabdi," tegas dia.
"Artinya jangan disamakan dengan usia (mengabdi) berpuluh-puluh tahun. Karena tujuan guru sebenarnya kan mencerdaskan anak bangsa," sambung Hamdi.
Pihaknya pun meminta kepada pemerintah untuk mempertimbangkan ulang afirmasi passing grade. Misalnya, dengan mempertimbangkan lama tahun mengabdi sang guru honorer.
"Misalnya, (masa mengabdi) 5-9 tahun itu mendapatkan afirmasi passing grade 100 poin, 10-14 tahun 150 poin, dan 15-19 tahun 200 poin, serta 20-seterusnya 250 poin," jelas yang telah mengabdi sebagai tenaga honorer selama 21 tahun ini.
Sementara itu, ia juga menyoroti seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK atau P3K) tahun 2021. Baginya, pemerintah belum bisa mengakomodasi semua tenaga honorer menjadi bagian dari PPPK, seperti tenaga administrasi.
"Tenaga Administrasi untuk P3K, dishub itu belum terakomodir ikut PPPK. Semoga pemerintah segera melihat hal ini karena kita juga tenaga honorer," tutup dia.
(pay/pal) Detik