Mereka menerima upah yang tak layak.
Pemerintah mencoba mengangkat derajat mereka lewat seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) bagi guru usia 35 tahun ke atas.
Namun, hal itu masih tak menjamin kehidupan para guru honorer yang sudah puluhan tahun mencetak generasi muda menjadi orang-orang hebat.
Seperti dialami Sutardi (58), seorang guru honorer di wilayah terpencil di Kampung Legok Ngenang, Desa Ciroyom, Kecamatan Bojonggambir, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, yang selama ini mengajar di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Timuhegar.
Sutardi saat ini sedang mengikuti proses seleksi PPPK tahun 2021 yang berpusat di Kota Tasikmalaya.
Namun, usia yang dua tahun lagi masuk masa pensiun dinilai tak sebanding dengan 18 tahun pengabdiannya sebagai guru honorer.
Nyambi jadi kuli
Sutardi mulai tercatat resmi mengajar sebagai guru honorer di sekolah terpencil Tasikmalaya sejak 2003 saat usianya 40 tahun.
Hampir selama 18 tahun mengajar, Sutardi hanya mendapatkan upah Rp 150.000 sampai Rp 300.000 per bulan dari uang Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang disisihkan.
Tentu saja honor tersebut tak bisa mencukupi kebutuhan hidup Sutardi dan anak-anaknya.
Sutardi akhirnya bertahan hidup dengan menyambi sebagai kuli cangkul sawah, tukang jahit, dan tukang cukur di kampungnya.
Namun, meski upah yang diterima sangat kecil, Sutardi masih tetap semangat mengajar karena menilai jasa-jasa guru menjadikan anak didiknya orang yang cerdas dan sukses merupakan pekerjaan yang mulia.
"Saya hanya berharap semua yang saya lakukan akan dibalas oleh Allah SWT nantinya. Saya menabung untuk masa kekal nanti saja, Pak," jelas Sutardi di rumahnya, Rabu (22/9/2021).
Tantangan
Tak sedikit tantangan yang dialami Sutardi selama 18 tahun mengajar.
Salah satunya jarak yang sangat jauh, jalan rusak, dan bukit terjal.
Biasanya Sutardi ke sekolah menggunakan motor butut Honda Supra X tahun 2.000-an.
Kondisi motor yang sudah tua ditambah kondisi jalan yang jelek membuat motor Sutardi sering mengalami masalah.
Kalau tidak putus rantai, pasti mogok di tengah jalan.
Sutardi merupakan seorang Sarjana Pendidikan Agama Islam (PAI) dan mengajar pendidikan agama di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Timuhegar.
Namun, dia juga mengajar Bahasa Indonesia, dan Matematika.
"Selama 18 tahun saya selalu berangkat selesai shalat Subuh dari rumah menuju sekolah. Jaraknya ada 10 kilometer lebih dari rumah saya. Jalannya rusak parah. Iya, kendalanya banyak, putus rantai motor, mogok, terperosok, sampai dibantu didorong oleh muridnya pernah," ungkap Sutardi sembari tersenyum mengenang perjuangannya mengajar.
Bersaing tes PPPK
Sutardi berharap diberikan kemudahan saat dirinya mendapatkan kesempatan ikut seleksi PPPK bersama 3.614 guru lainnya se-Kabupaten Tasikmalaya.
Adapun jatah kuota yang dimiliki oleh Kabupaten Tasikmalaya dalam proses penerimaan PPPK tahun ini hanya 984 orang.
Belum lagi saat seleksi, Sutardi harus bersaing dengan ribuan guru honorer muda usia di bawahnya.
Selama ini pun masih banyak "Sutardi-Sutardi" lainnya di Kabupaten Tasikmalaya yang berusia 45 sampai 58 tahun dan mereka masih mengabdi.
Masih banyak guru honorer yang ada di daerahnya sudah mengabdi 15 sampai 20 tahun belum diangkat menjadi PNS sampai sebagian guru telah pensiun dan sekarang ini tidak ada perhatian dari pemerintah daerah.
Seleksi PPPK selama ini, kata Sutardi, sangat tidak adil bagi dirinya dan rekan-rekan guru lainnya.
Karena, mereka harus bersaing ketat dengan para guru honorer yang masih berusia muda.
"Seharusnya guru tua bisa langsung diberikan SK-PPPK dan tidak usah melakukan seleksi karena pikiran maupun tenaga berbeda dengan yang muda," ucap Sutardi.kompas