Ia berharap, para guru honorer terutama yang sudah bertahun-tahun mengabdi, bisa lolos jadi pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) tanpa harus ikut tes CPNS.
"Itu artinya memecah kebuntuan ketidakpastian guru honorer yang pendapatannya antara iya dan tidak, dengan jumlah yang tidak menentu," ujar Muzani seusai FGD SMA Darul Hikam Bandung, Rabu (22/9/2021).
Menurut dia, guru merupakan panggilan jiwa. Guru bukan pencari kerja. Sebab itulah, ketika kebijakan Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dikeluarkan ia bersyukur. Waktu itu, pemerintah berencana mengangkat 1 juta guru honorer jadi PPPK.
Jalan berliku guru honorer, seharusnya diapresiasi negara
Sayangnya, jalan guru honorer jadi PPPK pun berliku-liku. Mereka harus melalui tes yang bagi sebagian guru yang sudah puluhan tahun mengabdi, dirasa menyulitkan. Mulai dari faktor usia hingga administrasi.
Karena itu, dari target 1 juta guru honorer yang diangkat, yang mendaftar baru 500.000an.
"Karena itu kami minta dengan hormat, pengabdian (guru honorer) pun harus dianggap sebagai bentuk lain penghargaan. Jadi loloskanlah jangan perlu ada tes," tegas Muzani.
Sebab, pengabdian itu lebih dari yang diharapkan.
"Mereka berharap jadi PNS? Iya, tapi kalau tidak lolos, mereka tetap ngajar. Mereka berharap jadi PPPK? Iya, tapi kalau tidak lolos, mereka juga tetap ngajar," ucap dia.
Buatnya, apa yang dilakukan guru honorer sebagai bentuk pengabdian dan panggilan. Seharusnya negara mengapresiasi pengabdian mereka, supaya persoalan pendidikan yang begitu panjang bisa diurai.
PTM Terbatas
Sementara itu, anggota Komisi VIII DPR RI, Sodik Mujahid mengatakan, ada berbagai persoalan yang disoroti dalam FGD Pola Pendidikan Pascapandemi ini.
Yakni revisi Undang-undang, keberpihakan politik, standardisasi guru, digitalisasi pendidikan, standardisasi semua komponen pendidikan, hingga evaluasi sarana.
Urgensi yang harus dibenahi saat ini adalah pola pembelajaran tatap muka, jarak jauh, dan hybrid. Pola digitalisasi ini tetap dipakai, karena dasar hukumnya ada.
Direktur Perguruan Darul Hikam, Ruri Ramadhanti menyatakan, pandemi Covid-19 menjadi momentum revisi pola pembelajaran agar lebih efektif kepada siswa.
Salah satunya pemberlakuan hybrid. Langkah ini efektif apalagi melihat Indonesia yang luas.
Namun agar optimal, pola pembelajaran hybrid, syaratnya pemerintah harus menyediakan jaringan internet yang baik, termasuk layanan internet di ruang publik.
Teknologi hybrid sendiri harganya beragam. Bila dibuat sendiri jatuhnya lebih murah dan bisa menggunakan Dana BOS.
"Kalau sudah seperti itu bisa maju bareng (daerah perkotaan dan pedesaan). Dana BOS bisa digunakan untuk perbaikan infrastruktur,” tutupnya.
(Penulis Kontributor Bandung, Reni Susanti | Editor Aprillia Ika)kompas