Rekrutmen Guru PPPK Perlu Dievaluasi

Banyak pihak menyayangkan kebijakan rekrutmen guru aparatur sipil negara berstatus pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja atau PPPK tahap kedua yang tidak diperhitungkan dampaknya bagi sekolah swasta.

ESTER LINCE NAPITUPULU
DOKUMENTASI KEMDIKBUDRISTEK

Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim memantau pelaksaan tes ASN PPPK yang diikuti guru honorer di sekolah negeri di Solo, Senin (13/9/2021).

Rekrutmen guru aparatur sipil negara berstatus pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja atau PPPK dinilai kebablasan dan tidak fokus pada penyelesaian masalah guru honorer di sekolah negeri. Bukan hanya sekolah swasta yang dirugikan karena ribuan gurunya akan beralih ke sekolah negeri, tapi sekolah negeri juga kehilangan guru-guru yang sudah lama mengabdi.

Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda di Jakarta, Jumat (7/1/2022), mengatakan, dalam dua minggu ini, Komisi X menerima berbagai aduan tentang potensi migrasi guru sekolah swasta yang lolos PPPK tahap kedua. Hal ini merupakan peluang bagi guru swasta bersertifikat pendidik untuk lolos karena mendapat afirmasi 100 persen atau 500 poin.

Sebaliknya, banyak guru honorer sekolah negeri yang sudah berusia di atas 35 tahun dan mengabdi lama tidak bisa mendapat sertifikat pendidik karena pengangkatannya hanya berdasarkan surat keputusan kepala sekolah. Mereka akhirnya hanya mengandalkan skor tes dan afirmasi lain yang kalah poinnya daripada kepemilikan sertifikat pendidik.

”Kami akan segera rapat dengan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) pada pekan depan. Kami akan minta pemerintah untuk mengevaluasi rekrutmen PPPK yang salah satu dampaknya pada persoalan guru swasta yang berbondong-bondong akan beralih ke sekolah negeri. Kebijakan pemerintah terkait rekrutmen guru PPPK ini tambal-sulam. Tujuan untuk menyelesaikan guru honorer sekolah negeri jadi tidak tercapai, tapi malah menimbulkan masalah baru migrasi guru sekolah swasta ke sekolah negeri,” ujar Huda.

Kepala SMK PGRI 2 Kediri, Jawa Timur, Harun, mengatakan, 11 guru produktif dan normatif dari sekolah ini lolos seleksi PPPK. Tidak adanya ketentuan bahwa guru swasta yang mendaftar daring harus memberitahukan ke pihak sekolah, membuat pihak sekolah tidak tahu akan kehilangan guru secara mendadak. Sekolah turut memperjuangkan para guru agar bersertifikat pendidik dan memiliki kompetensi, tapi mereka pergi begitu saja.

”Kami sempat bingung untuk mencari guru pengganti. Dalam 10 hari berusaha mencari guru. Beruntung bisa dapat guru dari sarjana yang baru lulus maupun yang tinggal menunggu wisuda. Namun, kami harus mendidik mulai dari nol lagi, terutama untuk guru produktif,” kata Harun.

Sekretaris Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pengurus Pusat Muhammadiyah Alpha Amirrachman mengecam program PPPK yang kebablasan karena alih-alih memecahkan masalah, tapi malah menimbulkan masalah baru. Sampai saat ini jumlah guru Muhammadiyah yang lulus PPPK hampir mencapai 3.000 orang atau sekitar 4 persen dari guru yang ada dan mereka akan eksodus ke sekolah negeri. Padahal, sebagian besar dari mereka adalah guru-guru yang berkualitas, sudah bersertifikasi, dan sebagian di antaranya kepala sekolah.

”Sekolah-sekolah Muhammadiyah akan mengalami kerugian materiil dan imateriil karena investasi selama ini dicerabut begitu saja oleh pemerintah. Kami prihatin karena jumlah ini juga akan terus bertambah,” kata Alpha.


https://assetd.kompas.id/Xp6oOAEThF4L8xer-FLlITG1Chc=/1024x2036/https://kompas.id/wp-content/uploads/2020/11/20201124-H15-ARS-Polling-Guru-mumed_1606233857.png

Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia Unifah Rosyidi mengatakan, ada ribuan guru di sekolah PGRI yang juga lolos PPPK. ”Kami merasa bangga dan senang. Berarti guru-guru swasta punya kualitas yang diharapkan untuk menjadi guru PPPK. Tapi, kalau harus mengisi di sekolah negeri, bagaimana dukungan pemerintah untuk meningkatkan mutu sekolah swasta? Rekrutmen ini perlu dikembalikan ke tujuan awalnya, untuk memprioritaskan guru honorer di sekolah negeri dulu yang diangkat dan ditempatkan di sekolah asal,” kata Unifah.

Dikotomi sekolah negeri-swasta

Sekretaris Jenderal Badan Musyawah Perguruan Swasta (BMPS) Mbula Darmin Vinsensius mengatakan, perguruan swasta sudah hadir jauh sebelum Indonesia Merdeka. Perguruan swasta senantiasa berjuang memajukan pendidikan dengan penuh rasa tanggung jawab karena didorong keinginan luhur tetap berkomitmen turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa.

BMPS rugi karena kehilangan guru-guru terbaik, berpotensi dan tersertifikasi, yang selama ini telah dibina dengan baik oleh yayasan. Untuk mencari penggantinya tidaklah mudah sehingga dikhawatirkan mengganggu proses belajar mengajar.

”Terkait kebijakan pemerintah mengangkat guru PPPK, yayasan penyelenggara perguruan swasta merasa resah dan terganggu. BMPS rugi karena kehilangan guru-guru terbaik, berpotensi, dan tersertifikasi, yang selama ini telah dibina dengan baik oleh yayasan. Untuk mencari penggantinya tidaklah mudah sehingga dikhawatirkan mengganggu proses belajar mengajar, karena tidak hanya guru bahkan banyak kepala sekolah yang lolos menjadi PPPK,” papar Darmin.

DOKUMENTASI SMA PGRI 1 CURUP,

Kondisi sekolah di SMA PGRI 1 Curup, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu. Sekolah ini melayani siswa miskin dengan sekolah gratis karena mendapat dana bantuan operasional sekolah (BOS). Kemendikbudristek mengeluarkan kebijakan sekolah kecil dengan siswa kurang dari 60 sisa tidak mendapat dana BOS. Padahal, sekolah kecil, umumnya sekolah swasta, menjadi tempat sekolah siswa miskin.

Dampak program PPPK, menurut Ketua Umum BMPS Saur Panjaitan, merata menyasar sekolah swasta di seluruh Indonesia. ”BMPS meminta pemerintah agar guru swasta yang lulus PPPK tetap ditempatkan di sekolah asal,” ujar Saut.

BMPS mengingatkan agar persoalan guru yang direkrut pemerintah untuk mendukung kesejahteraan dan pengembangan karir guru ini tidak mendikotomi sekolah negeri dan sekolah swasta. Jika guru PPPK juga ditempatkan di sekolah swasta, ini tidak akan menimbulkan kegaduhan dan semua pihak akan diuntungkan.

Apabila guru-guru PPPK masuk ke sekolah swasta, yayasan penyelenggara terbantu untuk meningkatkan mutu sekolahnya, sedangkan guru PPPK juga meningkat kesejahteraannya. Pemerintah dapat menjadikan guru PPPK tersebut sebagai perpanjangan pemerintah untuk menyukseskan program merdeka belajar sebagai guru penggerak. Hal itu akan berdampak positif dengan meningkatnya kualitas sekolah swasta.

”Peserta didik yang merupakan anak bangsa yang dikelola swasta mendapat pendidikan dari guru-guru yang baik,” kata Saut.

Dalam audiensi daring bersama BMPS, Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK), Kemendikbudristek, Iwan Syahril mengatakan, keinginan BMPS sama dengan keinginan Ditjen GTK. Akan tetapi, dalam melaksanakan kebijakan tersebut, terdapat kendala adanya ketentuan di Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang mensyaratkan PPPK harus bekerja di instansi pemerintah.

Alpha mengatakan, Muhammadiyah menuntut agar guru-guru yang lulus PPPK tetap berkhidmat di sekolah Muhammadiyah asal, jangan dipindahkan ke sekolah negeri. Seharusnya pemerintah dapat menggunakan UU No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) Pasal 1 Ayat 2 di mana terdapat frasa bahwa ASN ”…diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan”.

Dengan demikian ”diserahi tugas lainnya” dapat dimaknai diserahi tugas mengajar di sekolah swasta. Ini juga dapat menjadi bagian dari implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1981 tentang Pemberian Bantuan Kepada Sekolah Swasta dalam bentuk penempatan guru-guru yang lulus PPPK di sekolah swasta asal.

Alpha menyayangkan kebijakan rekrutmen guru PPPK tahap 2 yang tidak diperhitungkan dampaknya bagi sekolah swasta. Padahal sekolah-sekolah Muhammadiyah sudah membantu pemerintah mencerdaskan anak bangsa sehingga tidak selayaknya pemerintah mengambil kebijakan yang bersifat memberangus seperti ini.

”Untuk sementara kami sedang berikhtiar agar lulusan-lulusan dari FKIP perguruan-perguruan tinggi Muhammadiyah mengisi kekosongan guru-guru yang ada. Namun, ini tidak akan menjawab persoalan secara total karena guru-guru kami yang lulus PPPK dan eksodus ke sekolah negeri jumlahnya sangat besar. Karena itu, kami menuntut pemerintah mengubah kebijakan ini segera. Kalau tidak, maka kami akan menempuh jalur hukum dengan melakukan judicial review,” papar Alpha.kompas