Menurutnya, ada yang mengabdi lebih dari 30 tahun tersingkir oleh guru muda karena afirmasi kompetensi teknisnya lebih besar.
Seharusnya, kata Iman, Menteri Nadiem dalam membuat kebijakan tidak hanya menggunakan rasional, tetapi harus pakai hati. Ini agar kebijakannya bisa dirasakan seluruh honorer.
"Kebijakan Mas Nadiem di 2021 dan 2022 seharusnya pro honorer terutama honorer K2 karena pemerintah kan pengin honorer itu ada hanya sampai 2023," kata Iman kepada JPNN.com, Minggu (13/2).
Dia meminta dalam seleksi PPPK 2022, jangan ada tes lagi karena mereka sudah pernah dites pada 2013. Kalau hanya sekadar PPPK tidak perlu ada tes. Karena PPPK tidak jauh beda dengan honorer, sama-sama tidak mendapatkan pensiun.
Iman menambahkan seharusnya kebijakan 2022 harus lebih berpihak kepada honorer yang sudah mengabdi puluhan tahun.
"PPPK 2021 kebijakan yang keliru karena lebih berpihak kepada guru swasta. Ini dibuktikan dengan afirmasi 100 persen bagi guru yang punya sertifikat pendidik (serdik) dan itu didominasi guru swasta," terangnya.
Menteri Nadiem, kata Iman, seharusnya paham bahwa para guru honorer yang mengabdi di sekolah negeri tidak bisa mendapatkan serdik. Artinya kebijakan itu tidak berpihak kepada guru honorer negeri.
Saat ini guru honorer K2 dan tenaga kependidikan berharap kebijakan Nadiem. Honorer K2 usia tua jangan diadu lagi dengan guru muda, apalagi yang beserdik.
Nadiem harus menghargai pengabdian honorer K2 karena ikut mencerdaskan anak bangsa didasari rasa ikhlas.
"Untuk menyelesaikan honorer itu harus dengan hati ikhlas sehingga tidak merugikan kelompok guru honorer negeri terutama honorer K2," pungkas Iman Supriatna. (esy/jpnn)