Ada juga PPPK yang sudah terima SK dan teken kontrak, tetapi Surat Perintah Menjalankan Tugas (SPMT) belum diberikan.
Kasus lainnya, masa kontraknya berbeda-beda.
Rata-rata dikontrak 1 Februari 2022. Namun, ada yang SPMT dihitung 1 Februari, sedangkan lainnya mencantumkan Maret, April, Mei, dan Juni.
Anggota Komisi II DPR RI Hugua merespons kondisi tersebut.
Menurut Hugua, hal itu sangat merugikan honorer. Jika dikontrak 1 Februari 2022 sampai 31 Januari 2027, kemudian SPMT terhitung 1 Mei, otomatis ada selisih 3 bulan (Februari-Maret).
"Pembayaran gaji kan dihitung berdasarkan SPMT. Kalau 1 Mei, berarti gaji Januari-Maret ke mana?" kata Hugua , Jumat (22/4).
Eks Bupati Wakatobi dua periode ini menegaskan seharusnya Pemda menetapkan tanggal kontrak kerja, SK, dan SPMT sama. Jangan dibeda-bedakan karena merugikan honorer.
Dia mengingatkan PPPK dari honorer negeri itu berbeda dengan pelamar umum lainnya.
Menurut dia, honorer negeri bertahun-tahun mengabdi dengan gaji rendah dan tidak putus masa kerjanya. Sementara, pelamar umum baru bekerja begitu SPMT ditetapkan.
"Mengapa SPMT dibedakan? Itu orangnya (honorer) kan tetap bekerja. Jangan tindas lagi honorer ini. Kasihan mereka sudah bertahun-tahun menanti diangkat ASN," tegas politikus dari Fraksi PDIP ini.
Senada dengan Hugua, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih meminta pemerintah untuk berkaca dari rekrutmen PPPK 2019. Untuk menyelesaikan 34 ribuan guru honorer K2 saja butuh waktu 2 tahun.
Dalam 2 tahun itu, lanjutnya, tidak sedikit guru yang pensiun, meninggal, dan hampir pensiun.
"Terharu saya ketika ada guru honorer K2 yang menerima SK PPPK, tetapi besoknya dia pensiun. Yang serupa ini seharusnya dihindari pemerintah," ucap politikus Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
Dia pun mengimbau Pemda secepatnya memberikan SK PPPK dan hak-hak para honorer yang lulus.(esy/jpnn)