Kebijakan Seleksi PPPK dan Penghapusan Honorer Meningkatkan Pengangguran dan Kemiskinan

 Kebijakan Seleksi PPPK dan Penghapusan Honorer Meningkatkan Pengangguran dan Kemiskinan

Pemprov Kepri mendorong para pegawai non-ASN daerah itu ikut seleksi PPPK menjelang penghapusan honorer dieksekusi oleh pemerintah.. Ilustrasi: Ricardo 

Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau (Pemprov Kepri) telah mendata keberadaan para honorer daerah itu yang berjumlah sekitar 7.000 orang.

Ribuan pegawai non-ASN itu juga dipersilakan mengikuti seleksi PPPK (pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bakal diadakan pemerintah pusat sebelum penghapusan honorer.

Menurut Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Kepri Hasan, seleksi PPPK merupakan satu-satunya peluang bagi honorer di sana dapat bertahan di pemerintahan.

Hasan juga menyatakan pendataan honorer di Pemprov Kepri sudah selesai dan datanya diserahkan kepada pusat.

"Selanjutnya, pemerintah pusat berencana membuka penerimaan PPPK 2023 atau sebelum kebijakan penghapusan status non-ASN diberlakukan," ujar Hasan.

Hasan menyebut Gubernur Kepri Ansar Ahmad sudah berulang kali melobi pemerintah pusat agar status honorer di provinsi itu tidak dihapus secara menyeluruh, melainkan bertahap.

Hal itu disebabkan daerah itu masih membutuhkan seluruh honorer, terutama di bidang pendidikan dan kesehatan.

Walakin, upaya itu tidak membuahkan hasil lantaran kebijakan pemerintah pusat tersebut berdasarkan perintah UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang menyatakan ASN hanya terbagi dua, yakni PNS dan PPPK.

"Banyak kepala daerah yang melobi agar dapat mempertahankan honorer. Persoalannya, keputusan tersebut berdasarkan perintah undang-undang sehingga mulai November 2023 mulai dieksekusi," terangnya.

Hasan mengungkapkan Pemprov Kepri masih berupaya agar pemerintah pusat tidak hanya menjadikan hasil seleksi ujian tertulis sebagai satu-satunya dasar dalam menentukan honorer tersebut lulus seleksi PPPK atau tidak.

Pemprov Kepri juga meminta pemerintah pusat mempertimbangkan honorer yang lebih dari 10 tahun mengabdi di pemerintahan, sebab mereka punya pengalaman.

"Pengalaman mereka dalam bekerja itu dibutuhkan dalam penyelenggaraan pemerintahan," ucap Hasan.

Pengamat politik dan pemerintahan Endri Sanopaka sebelumnya menilai rencana penghapusan honorer sebaiknya ditangani secara bijak sehingga dapat meminimalisir dampak negatif, seperti pengangguran.

Peningkatan angka pengangguran menurut dia berpotensi meningkatkan angka kemiskinan. Permasalahan itu akan berdampak lebih jauh dalam kehidupan masyarakat.

"Ada potensi negatif akibat kebijakan itu, baik secara politik, sosial, hukum maupun ekonomi," ucap Endri.

Oleh karena itu, ketua Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Raja Haji itu mengingatkan pemerintah mempertimbangkan nasib tenaga honorer jauh sebelum kebijakan itu diberlakukan (antara/jpnn)