Pascarapat dengar pendapat dengan Komisi X DPR padal 24 Mei, banyak praktisi pendidikan yang bereaksi keras atas rencana Mendikbud Ristek Nadiem Makarim yang akan mengubah pola rekrutmen guru pada 2024. Rencana ini dijelaskan dengan gamblang bahwa akan ada "marketplace guru". Hal ini dilakukan untuk mengatasi kekurangan guru yang berlarut-larut. Nantinya sekolah tidak boleh lagi merekrut guru honorer.
Untuk menjamin mutu guru, maka yang akan masuk marketplace ini adalah guru-guru yang sudah berkategori PI dan guru-guru tamatan PPG prajabatan. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa guru-guru yang berkategori PI adalah kategori prioritas satu yang bisa didefinisikan peserta yang telah mengikuti seleksi PPPK untuk jabatan fungsional 2021 dan telah memenuhi ambang batas nilai yang ditetapkan.
Pada 2023, ada sekitar 3043 guru kategori P1 yang dibatalkan penempatannya. Indonesia sampai 2024 diprediksi akan kekurangan 1,3 juta guru. Program sejuta guru yang digagas Kemdikbud Ristek baru terisi sekitar 544.292 ribuan. Jelas saja masih jauh dari kata cukup yaitu kurang 601.286 guru. Rencananya marketplace itu akan berfungsi sebagai talent pool guru-guru di Indonesia.
Kemdikbud Ristek akan langsung mentransfer uangnya di sekolah untuk gaji guru yang akan di-check out oleh sekolah dari marketplace. Rekeningnya akan terpisah dengan bantuan BOS. Sehingga pengangkatan guru ASN bersifat real time, kapan saja sekolah membutuhkan. Kedengarannya begitu menjanjikan. Namun, ada beberapa catatan yang harus diperhatikan berkenaan dengan rencana besar tersebut.
Pertama, berapa jumlah sekolah negeri di Indonesia? Ada lebih dari 217.283 sekolah berdasarkan data 2021 di mana 76 persennya adalah sekolah negeri. Dengan jumlah sekolah negeri yang ratusan ribu itu, apakah pemerintah akan mentransfer gaji guru ke semua sekolah tanpa ada diskriminasi? Jawa, luar Jawa?
Mengingat marketplace adalah aplikasi modern yang membutuhkan listrik dan internet agar sekolah bisa melihat, memilih, dan menimbang guru yang akan dipilih untuk sekolah mereka, bagaimana sekolah-sekolah terdepan dan terluar yang belum terjamah internet? Apakah itu bukan diskriminasi? Hanya memberi kesempatan kepada sekolah-sekolah di tempat yang terjangkau internet. Bahkan pada 2022 data Kemdikbud Ristek menyebutkan bahwa 40 persen sekolah belum terjangkau internet.
Sekolah-sekolah di daerah 3T sangat sedikit memiliki guru ASN. Dengan model ini, maka selama aturan marketplace ini berlaku, maka sekolah-sekolah paria tersebut tidak akan pernah memiliki guru yang cukup. Aturannya sudah jelas, sekolah tidak boleh lagi merekrut guru honor.
Masalah yang kedua, guru-guru yang sudah lulus kuliah PPG prajabatan selama satu tahun kuliah, bukannya ditempatkan di sekolah-sekolah yang membutuhkan guru malahan akan ditaruh dulu di marketplace, entah berapa lama, tunggu dipilih kepala sekolah atau di-check out sekolah. Banyak dari mereka yang bahkan kuliah dengan biaya sendiri dengan harapan selesai kuliah langsung ditempatkan.
Ketiga, masalah lain yang mungkin muncul dan tidak kalah pelik dengan adanya marketplace ini yaitu para fresh graduate sekolah guru. Mereka tidak berhak masuk marketplace karena hanya ada dua kategori yang berhak masuk yaitu guru yang sudah P1 dan guru lulusan PPG prajabatan. Kalau tidak boleh mengajar, ke mana lulusan-lulusan sekolah guru itu hendak menerapkan ilmu yang mereka dapat?
Ijazah mereka keguruan dan memang sejak awal mereka mendaftar di kampus guru, niat mereka mau jadi guru. Rencana pemerintah ini membuat anak-anak muda Indonesia semakin tidak mau bercita-cita jadi guru dengan rumitnya peraturan yang selalu berubah dari waktu ke waktu. Apakah hal ini tidak akan menimbulkan chaos dalam dunia pendidikan? Tumpukan hebat tamatan kampus guru akan terjadi di mana-mana. Sehingga pemerintah mungkin perlu menutup sementara semua kampus guru di Indonesia sehingga tidak ada mahasiswa yang terjebak dan mendaftar lagi.
Akan ada ketimpangan luar biasa di lapangan, jumlah lulusan guru melimpah, dan aturan yang berlaku adalah tidak boleh mengajar karena mereka tidak masuk di marketplace, dan akibatnya bisa dipastikan sekolah akan kekurangan guru dalam jumlah yang luar biasa. Sudah bukan rahasia lagi, sekolah-sekolah yang tidak memiliki guru mata pelajaran tertentu merekrut guru-guru honorer fresh graduate dengan gaji lebih rendah dari kuli bangunan yakni di kisaran 300 ribu sebulan bahkan di bawah itu.
Para fresh graduate itu menerima saja nasib mereka digaji sekecil itu karena mereka memang tamatan sekolah guru, mau jadi apa lagi? Sambil berharap jika sudah lama mengabdi suatu saat mereka akan jadi guru dalam arti yang sesungguhnya.
Keempat, model marketplace ini juga sangat mengkhawatirkan. Bagaimana, jika sekolah membutuhkan guru mata pelajaran tertentu, tapi tidak tersedia di marketplace? Apa harus menunggu ada dulu? Dan kalaupun ada, misalnya sudah di-check out oleh pihak sekolah dan tiba-tiba guru yang bersangkutan menolak karena lokasi misalnya. Hal ini harus diantisipasi pihak Kemdikbud Ristek untuk memastikan guru mau di-check out seluruh sekolah di Indonesia.
Kelima, model marketplace ini akan menumbuhsuburkan pola-pola KKN. Masyarakat kita bukanlah masyarakat yang sudah patuh dengan baik terhadap aturan. Jika kepala sekolah misalnya hanya mau merekrut kenalan, keluarga, dan koleganya di marketplace dan mengabaikan guru lain yang lebih potensial, apakah ada pola pengawasannya? Apakah pihak Kemdikbud Ristek sudah mengantisipasi dengan menyediakan fitur atau perjanjian untuk tidak ada kolusi antar sekolah dengan calon guru yang akan direkrut? Jika itu terjadi apa ada sanksi untuk sekolah?
Keenam adalah bagaimana psikologi guru yang ditaruh di marketplace yang dalam waktu lama tidak ada sekolah yang memesan atau men-check out? Apakah psikologinya tidak terganggu? Apalagi jika waktu mendaftarnya bersamaan dengan guru-guru yang sudah sold out dan apalagi jika guru-guru yang di-check out oleh sekolah adalah guru-guru yang good looking karena ada foto diprofil para guru. Apakah tidak membuat stres guru-guru tersebut?
Keenam alasan di atas bisa menjadi masalah-masalah yang potensial yang akan muncul sehubungan dengan rencana rekrutmen model marketplace pada 2024 nanti.
Jika alasan lain diadakannya pola rekrutmen model marketplace adalah menjadi talent pool agar sekolah mendapat guru bermutu, tidaklah sesimpel membuat aplikasi tersebut. Masalah mutu guru Indonesia sudah sangat akut dan mendapat porsi perhatian OECD setiap kali laporan PISA keluar.
Yang perlu dibenahi adalah hulunya. Kampus-kampus pencetak guru. Lihatlah Singapura, juara PISA bertahun-tahun. Guru-gurunya berkelas dunia. Apa yang dilakukan oleh Singapura? Merekrut tamatan terbaik sekolah-sekolah menengah. Tidak semua kampus boleh menyelenggarakan sekolah guru. Hanya ada satu kampus penyelenggara guru, mutunya begitu ketat dan terkontrol. Sehingga yang jadi guru adalah memang orang-orang cerdas. Begitu pula Finlandia.
Di Indonesia, semua kampus bahkan kampus yang baru dibuka boleh menyelenggarakan sekolah guru. Tidak ada batasan. Bahkan kampus abal-abal yang kerap ditutup sering mewisuda calon guru. Sehingga jika ingin guru-guru kita adalah guru dengan talenta terbaik, pemerintah sudah harus serius membenahi kampus-kampus guru.
Contohlah Malaysia, mereka mensinkronkan jumlah kekurangan guru dan jumlah calon mahasiswa guru di semua wilayah yang akan diterima di kampus-kampus guru. Sehingga jumlah tamatan kampus guru tidak menumpuk dan sesuai dengan kebutuhan. Membenahi mutu guru adalah jalan panjang yang sudah harus dirintis secepatnya. Dengan membenahi pola rekrutmen mahasiswa guru dan tentu saja mutu kampus-kampus guru.
Pembuatan aplikasi marketplace, mungkin akan membutuhkan dana puluhan miliar. Akan sangat mubazir karena hanya guru dengan dua kategori yang bisa masuk. Mengapa tidak mencontoh aplikasi LinkedIn? Semua orang bisa mendaftar dan mempromosikan diri. Harusnya marketplace guru juga begitu. Semua guru yang belum ASN boleh daftar dan boleh masuk di sana. Biar guru-guru itu sendiri yang menjual dirinya dengan potensi yang mereka miliki.
Dana pembuatan marketplace yang begitu besar dan belum tentu bisa dilanjutkan di masa yang akan datang karena kebijakan ini santer mendapat penolakan dari para calon guru sebaiknya digunakan untuk langsung mengangkat kategori PI dan lulusan PPG prajabatan. Bukankah sekolah, dinas kota dan dinas provinsi, dan pusat sudah memiliki data lengkap tentang semua guru dan juga sekolah-sekolah yang kurang guru? Untuk apalagi para guru itu dipajang-pajang di marketplace tersebut? Hanya akan membuat panjang derita para guru dengan kategori tersebut.
Sebenarnya semua sangat simpel dan tidak memerlukan marketplace kalau hanya mau menyelesaikan masalah guru PPPK kategori P1 dan lulusan PPG prajabatan. Tinggal buka dapodik untuk guru P1. Demikian juga guru lulusan PPG prajabatan bukankah sudah ada datanya di Kemdikbud Ristek? Sejak perekrutan mereka mendaftar di Kementerian tersebut. Tidak usah lagi membuat aplikasi yang makin membuat segalanya menjadi lebih rumit.
Menjelang tahun politik 2024, sebaiknya masalah pengangkatan satu juta guru dituntaskan dulu, sehingga ketika peralihan pemerintahan, kekurangan guru Indonesia sudah teratasi. Guru-guru kategori PI sudah memenuhi syarat untuk diangkat, untuk apalagi diterlantarkan di marketplace? Masalah yang ada tidak bisa tuntas hanya dengan membuat aplikasi; seperti yang saya uraikan di atas sangat banyak aspek yang harus dipertimbangkan sebelum kebijakan marketplace itu diluncurkan. Jangan menyelesaikan masalah dengan masalah.
Waode Nurmuhaemin doktor manajemen pendidikan